cara menghitung dosis pupuk kelapa sawit
PupukPembesar Buah Kelapa Sawit : Jenis, Kandungan Jul 19, 2021· Saat pertumbuhan kelapa sawit belum menunjukkan pertumbuhan buah kelapa sawit yang kurang maksimal, Anda bisa mengaplikasikan Pupuk Organik Cair GDM Spesialis Perkebunan Kelapa Sawit dengan takaran 100 ml/tanaman setiap 2 bulan sekali.
Dalammenentukan bibit kelapa sawit yang akan ditanamkan, juga membutuhkan keahlian dan ketelitian. Adapun cara memilih pupuk untuk kelapa sawit yang baik dan benar adalah sebagai berikut. 1. Jika Menggunakan Pupuk Organik Untuk pupuk Urea : menggunakan dosis atau takaran sekitar 0,04-0,6 yang diberikan sebanyak 2 kali penggunaan.
NPKKEL APA SAWIT (NPK maks : 12 20 12) Ijin Deptan : G314/DEPTAN-PPI/VII/2007 Ijin Memperindag : 089/M/SK/ILMK/VIII/1998 SNI Pupuk NPK Kelapa Sawit merupakan pupuk dengan kandungan NPK yang di formulasikan untuk tanaman perkebunan kelapa sawit, tetapi dapat juga di aplikasikan pada tanaman pertanian.
Tetapijika yang tersedia pupuk SP-18, maka dosis RP harus dikalikan (36/18) = 2. Sehingga jika kebutuhan RP lobang tanam 0,5 maka dikalikan 2 atau 0,5 x 2 = 1 kg. Jadi untuk SP-18 diperlukan dosis 1 kg/pohon. *** MOP dapat digunakan sama dengan dengan pupuk KCl dengan kadar K2O 60%.
Beberapakomoditas pelanggan utamanya kelapa sawit, karet, buah-buahan terutama yang tumbuh di lahan gambut di belahan Timur Sumatera. Pupuk Gramalet telah dirasakan hasilnya, selain menyediakan kelengkapan unsur dari setiap tablet, pupuk Gramalet juga sangat cocok diaplikasikan di lahan gambut tersebut.
gieo 1 đồng tiền liên tiếp 3 lần. Untuk menghasilkan produksi buah kelapa sawit yang baik, pemupukan mulai dari bibit sangat penting untuk memperoleh bibit yang sehat, tumbuh cepat dan subur. Adapun pemupukan yang dimaksud harus menjaga keseimbangan lingkungan. Karena bila tidak, maka masa produktivitas pohon sawit akan berkurang. Sementara itu, yang lebih buruknya lagi adalah terganggunya keseimbangan ekosistem alam sehingga dampak dari kerusakan lingkungan akan menimbulkan munculnya hama dan penyakit, putusnya mata rantai makanan pada alam, serta terganggunya kesehatan manusia. Cara menghitung kebutuhan pupuk pada sawit-sawit anda sebenarnya juga tidak bisa sembarangan. Hal ini didasari oleh keadaan tanaman itu sendiri. Ibarat lain ikan lain ladang, maka lain kondisi pohon, lain pula kebutuhan formulasinya. Adapun beberapa faktor yang menjadi pertimbangan sebelum memberikan unsur hara ini pada pohon, antara lain Survei Keadaan Tanah, Akar, Batang, dan Daun Tanaman Kelapa SawitAnalisa pada LaboratoriumSanitasi TanamanPengukuran Kadar MineralWaktu yang TepatTepat Posisi TaburPosisi dan Letak Tanah Survei Keadaan Tanah, Akar, Batang, dan Daun Tanaman Kelapa Sawit Hal ini bertujuan untuk mengetahui kesehatan serta kesuburan tanah, tingkat kondisi penyerapan pada akar, termasuk kesehatan batang dan daun. Jika memang tidak terdapat penyakit, maka yang dibutuhkan pohon sawit adalah unsur-unsur makanan seperti hormon, enzim serta mikroorganisme yang membantu kesuburan tanah. Namun apabila pada sawit anda ditemukan beberapa gangguan bahkan penyakit, maka pupuk pertama yang harus diberikan adalah jenis organik yang bertujuan untuk menetralisir keasaman ph dan memperbaiki struktur tanah sebagai mediator penyerapan makanan pada tumbuhan. Analisa pada Laboratorium Apa yang dianalisa? Yakni sampel tanah, akar, daun, dan batang untuk melihat kondisi kesehatannya. Analisa pada laboratorium inilah yang akan menentukan tindakan jenis pupuk organik yang akan diberikan pada tumbuhan kelapa sawit anda. Sanitasi Tanaman Syarat yang satu ini tidak mutlak. Jika memang ditemukan tanda-tanda penyakit, barulah dapat dilakukan sanitasi pembersihan. Tapi kalau tidak ditemukan gejala apapun, maka tidak perlu. Setelah proses sanitasi selesai, maka dapat dilanjutkan dengan penggarukan piringan pada daerah sekitar tanaman, sebagai tempat tabur pupuk nantinya. Pengukuran Kadar Mineral Siapa bilang semakin banyak diberikan pupuk maka pohon anda akan semakin sehat, subur dan tinggi dalam berproduktivitas? Jangan percaya. Karena hasil penelitian membuktikan bahwa sawit juga dapat terkena penyakit jika kelebihan mineral. Kekurangan tidak boleh, kelebihan pun tidak diizinkan. Yang benar adalah dosis yang tepat. Waktu yang Tepat Selain tepat jenis mineral, waktu pun harus diperhatikan. Syukurnya, pupuk hasil produksi salah satu perusahaan teknologi sawit di Indonesia yakni PT Propadu Konair Tarahubun PKT – Plantation Key Technology bisa dipakai dalam segala musim. Tepat Posisi Tabur Anda jangan berpikir kalau menabur hanya sekedar menabur. Ada ketentuan yang harus diperhatikan. Artinya posisi ketinggian dan formulasi yang ditaburkan jangan sampai keluar dari piringan pohon. Hal ini untuk menjaga jika hujan turun, maka pupuk akan tetap pada tempatnya. Posisi dan Letak Tanah Lain tanah datar, lain pula tanah miring yang akan diberikan pupuk. Begitulah cara kerja yang diterapkan oleh PT Propadu Konair Tarahubun Plantation Key Technology dalam menerapkan cara menghitung kebutuhan pupuk atau dosis pupuk pada tanaman palma ini. Adapun yang harus digarisbawahi adalah pemberian unsur hara ini harus menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan demi ketahanan produktivitas sawit jangka panjang suistainable crude palm oil.
Cara Menghitung Dosis Pupuk Kelapa Sawit – Jika kamu ingin mendapatkan hasil panen buah kelapa sawit yang efisien maka kamu perlu melakukan langkah yang baik dari awal ketika menanam bibit sehingga bibit kelapa sawit akan tumbuh sehat,cepat,dan subur. Jika kamu salah langkah maka hasil produksi kelapa sawit akan mengalami penurunan. Selain itu kemungkinan terburuk yang akan terjadi adalah keseimbangan ekosistem alam akan mengalami gangguan sehingga akan menyebabkan rusaknya lingkungan yang pada akhirnya akan memunculkan penyakit. Baca Juga Cara Menghitung Kebutuhan Pupuk Per Lubang Tanam Untuk cara menghitung dosis pupuk kelapa sawit sebenarnya tidak boleh dilakukan sembarang, kamu perlu memperhatikan faktor-faktor di bawah ini yaitu Memperhatikan kondisi tanah, akar, batang, serta daun dari kelapa sawit. Tujuannya agar kamu tahu bagaimana tingkat penyerapan pada akar tanamanmu. Termasuk juga dalam hal ini adalah batang dan daunnya. Menganalisa sampel tanah, akar, batang, dan daun kelapa sawit di laboratorium Sanitasi Tanaman diperlukan jika kamu melihat adanya gejala penyakit. Namun kamu tidak perlu melakukan hal ini jika tidak ditemukan gejala maupun tanda-tanda penyakit. Mengukur kadar mineral dengan dosis yang tepat. Waktu pemberian pupuk yang sesuai. Faktor posisi serta formulasi yang ditabur tidak boleh sampai keluar dari piringan pohon kelapa sawit. Sehingga pada saat hujan turun maka posisi pupuk akan tetap berada ditempatnya. Cara Menghitung Dosis Pupuk Kelapa Sawit A. Pembibitan umur 1-12 Bulan Pakailah pupuk NPK 15-15-6-4 yang memiliki unsur hara Nitrogen dan Fosfor yang lebih banyak sehingga membantu pertumbuhan awal bibit, serta membentuk akar & batang. Dosis yang diberikan adalah 30 gr per pohon untuk bibit 1-3 bulan, dan 75 gr per pohon untuk bibit 4-12 bulan. Lakukan setiap 3 bulan, caranya adalah dibenamkan 3-5 cm pada tanah. B. Tanaman Belum Menghasilkan umur 1-3 Tahun Pakai pupuk NPK 12-12-17-2+TE dengan unsur Nitrogen, Fospor, dan Kalium yang seimbang sehingga akan membantu proses pertumbuhan vegetatif. Dosis pupuk yang dipakai adalah 2-2,5 kg per pohon, bagi menjadi 2-3 kali pemupukan yang dilakukan sampai 1 tahun, caranya adalah dibenamkan ke dalam tanah 10-15 cm ataupun bisa juga disebarkan di sekitar tanaman dengan jarak 2/3 dari tajuk. Baca Juga Cara Menggunakan Pupuk Gandasil Buah C. Tanaman Menghasilkan umur 4 sampai lebih dari 20 Tahun Pakai pupuk NPK 13-6-27-4+0,65B atau NPK 13-8-27-4+0,5B hal ini disesuaikan dengan kondisi tanah, dengan unsur hara Kalium yang lebih banyak sehingga akan lebih meningkatkan hasil dari buah. Kamu bisa memakai dosis 2-2,5 kg per pohon untuk tanaman yang berumur 4-8 tahun, 3-4 kg per pohon untuk yang berumur 9-13 tahun, 2-3,5 kg per pohon untuk umur 14-20 tahun dan 2-3 kg per pohon untuk tanaman yang sudah menghasilkan panen lebih dari 20 tahun. Bagilah jadi 2 kali pemupukan untuk digunakan 1 tahun, caranya ialah dibenamkan di dalam tanah 10-15 cm, bisa juga kamu sebar di sekitaran tanaman dengan jarak 2/3 dari tajuk. Itulah tadi informasi mengenai Cara Menghitung Dosis Pupuk Kelapa Sawit, semoga berma
Efisiensi pupuk merupakan rasio antara jumlah hara yang diserap tanaman dengan jumlah hara yang diaplikasikan lewat pupuk. Efisiensi pupuk yang tinggi digambarkan dengan semakin banyaknya hara yang dapat diserap tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efisiensi beberapa jenis pupuk terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit. Penelitian dilakukan di Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan, Sumatra Utara. Sebanyak empat perlakuan dengan tiga ulangan disusun menggunakan rancangan acak lengkap. Perlakuan yang dicobakan adalah 1 P0 = Kontrol/tanpa pupuk; 2 P1 = Pupuk majemuk Briket, 3 P2 = Pupuk majemuk granular, dan 4 P3 = Pupuk tunggal lengkap yang terdiri dari Urea, TSP, MoP, dan Kieserit. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa i serapan hara nutrient uptake N, P, K dan Mg pada perlakuan pupuk majemuk briket lebih tinggi sekitar 11%; 21%; 9%; dan 23% dibanding perlakuan pupuk majemuk granular dan 5%; 1%; 1% dan 19% lebih tinggi dibanding perlakuan P3; ii efisiensi serapan hara recovery efficiency N, P, K dan Mg perlakuan pupuk majemuk briket lebih tinggi sekitar 18%; 42%; 16%; dan 20% dibanding perlakuan pupuk majemuk granule dan lebih tinggi sekitar 8%; 1%; 2%; dan 19% dibanding perlakuan pupuk tunggal; dan iii efisiensi agronomis agronomic efficiency N, P, K dan Mg pada perlakuan pupuk majemuk briket lebih tinggi sekitar 26% dan 18% dibanding nilai efisiensi agronomis hara N, P, K, dan Mg pada perlakuan pupuk majemuk granular dan pupuk tunggal lengkap. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Rajan, and D. Radhakrishna. 2013. Effect of endophytic bacteria on the rooting and establishment of c u t t i n g s of Hibiscus rosasinensis. IOSR Journal of Agriculture and Veterinary Science. 32 Dedeh, S. Pujawati, H. Ridha. 2008. Aplikasi bakteri endofitik penambat N2 untuk meningkatkan populasi bakteri endofitik dan hasil tanaman padi sawah. Jurnal Agrikultura. 193 S., J. Vanderleyden, and R. Remans. 2007. Indole-3-a c e t ic a c i d i n microbial and microorganism-plant signaling. FEMS Microbiol Rev. 314 D. Gustomo, dan Y. Nuraini. 2016. Pengaruh aplikasi bakteri endofit penambat nitrogen dan pupuk nitrogen terhadap serapan nitrogen serta pertumbuhan tanaman. Jurnal Tanah dan Sumberdaya Lahan. 32 I., Sugiyanta, A. Junaedi, dan R. Widyastuti. 2014. Peran bakteri penambat nitrogen untuk mengurangi dosis pupuk nitrogen anorganik pada padi sawah. J. Agron Indonesia. 422 Sutarta, dan W. Darmosarkoro. 2003. Efektivitas aplikasi pemupukan majemuk lambat tersedia pada pembibitan kelapa sawit. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit. 113 T. 2012. Menggali potensi endofit untuk meningkatkan kesehatan tanaman tebu mendukung peningkatan produksi gula. Perspektif. 112 M., Y. Liang, X. Zhang, Y. Xu, H. Dai, and W. Xiao. 2008. Deletion of yeast CWP genes enhances cell permeability genotoxic agents. Toxicol Sci. 1031 Hidayat, Suroso Rahutomo, Rana Farrasati, Iput Pradiko, Muhdan Syarovy, Edy Sigit Sutarta, dan Wiwik Eko Widayati EFISIENSI SERAPAN HARA BEBERAPA JENIS PUPUK PADA BIBIT KELAPA SAWITNUTRIENTS USE EFFICIENCY OF SEVERAL TYPES OF FERTILIZERS ON THE OIL PALM SEEDLINGJ. Pen. Kelapa Sawit, 2018, 262 79-90dan Mg pada perlakuan pupuk majemuk granular dan pupuk tunggal lengkap. Kata kunci efisiensi, serapan hara, efisiensi agronomis, kelapa Fertilizer efficiency is a ratio between the amount of nutrient that absorbed by the plant and the amount of nutrient that applied through fertilizer. The efficiency of a fertilizer can be defined as the number of nutrients that can be absorbed by the plan. The objective of this study was to compare the efficiency of three types of fertilizers on the oil palm seedling. This research was conducted on Indonesian Oil Palm Research Institute at Medan, North Sumatra, Indonesia. Four treatments with three replications were arranged by a completely randomized design. The treatments are 1 P0 = control/no fertilizer; 2 P1 = Briquette compound fertilizer, 3 P2 = Granular compound fertilizer, and 4 P3 = single-nutrient fertilizer; Urea, TSP, MoP, and Kieserite. The results showed that I nutrients uptake NU of N, P, K, and Mg on briquette compound fertilizer relatively higher about 11%; 21%; 9%; and 23% compare to granular compound fertilizer and 5%; 1%; 1% and 19% higher than P3 respectively; ii recovery efficiency RE of N, P, K, and Mg on briquette compound fertilizer were 18%; 42%; 16%; and 20% higher than granular compound fertilizer and 8%; 1%; 2%; and 19% than single-nutrient fertilizer; while iii agronomic efficiency AE of N, P, K, and Mg on Briquette compound fertilizer were higher about 26% for each nutrient compare to Granular compound fertilizer and 18% higher for each nutrient than single-nutrient efficiency; nutrient uptake; agronomic efficiency; oil Noviandi Ginting, Suroso Rahutomo dan Edy Sigit Sutarta Abstrak Efisiensi pupuk merupakan rasio antara jumlah hara yang diserap tanaman dengan jumlah hara yang diaplikasikan lewat pupuk. Efisiensi pupuk yang tinggi digambarkan dengan semakin banyaknya hara yang dapat diserap tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efisiensi beberapa jenis pupuk terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit. Penelitian dilakukan di Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan, Sumatera Utara. Sebanyak empat perlakuan de ngan tiga ulangan disusu n menggunakan rancangan acak lengkap. Perlakuan yang dicobakan adalah 1 P0 = Kontrol/tanpa pupuk; 2 P1 = Pupuk majemuk Briket, 3 P2 = Pupuk majemuk granular, dan 4 P3 = Pupuk tunggal lengkap yang terdiri dari Urea, TSP , MoP , dan Kie s er i t. Hasi l pen e li ti a n memperlihatkan bahwa i serapan hara nutrient uptake N, P, K dan Mg pada perlakuan Pupuk majemuk briket lebih tinggi sekitar 11%; 21%; 9%; dan 23% dibanding perlakuan pupuk majemuk granular dan 5%; 1%; 1% dan 19% lebih tinggi dibanding perlakuan P3; ii efisiensi serapan hara recovery efficiency N, P, K dan Mg perlakuan pupuk majemuk briket lebih tinggi sekitar 18%; 42%; 16%; dan 20% dibanding perlakuan pupuk majemuk granule dan lebih tinggi sekitar 8%; 1%; 2%; dan 19% dibanding perlakuan pupuk tunggal; dan iii efisiensi agronomis agronomic efficiency N, P, K dan Mg pada perlakuan pupuk majemuk briket lebih tinggi sekitar 26% dan 18% dibanding nilai efisiensi agronomis hara N, P, K, Penulis yang tidak disertai dengan catatan kaki instansi adalah peneliti pada Pusat Penelitian Kelapa SawitEko Noviandi Ginting *Pusat Penelitian Kelapa SawitJl. Brigjen Katamso No. 51 Medan, IndonesiaEmail eko81_novandy 79Naskah masuk 09/04/2018; Naskah diterima 28/08/2018 berbau khas dari karoten dan rasanya agak langu. Penggunaan minyak inti sawit, minyak kelapa yang diolah dari santan dan lemak kakao dimaksudkan untuk menurunkan bahkan menghilangkan aroma dari MSM. Semakin tinggi jumlah dari ketiga jenis minyak tersebut menyebabkan tingkat kesukaan dari campuran semakin tinggi dikarenakan aroma dari MSM semakin rendah atau Organoleptik Campuran MSM dan Minyak Nabati Tingkat kesukaan MSM dan campurannya terhadap aroma dan rasa ditunjukkan pada Tabel 2. Nilai rerata tingkat kesukaan terhadap aroma dan rasa MSM sangat rendah sebesar 1,3-1,4 yang berarti tidak suka hingga kurang suka. Rendahnya nilai kesukaan ini disebabkan oleh MSM berwarna kemerahan dan 80PENDAHULUAN Nitrogen, Phosphor, Kalium dan Magnesium merupakan hara makro esensial yang dibutuhkan oleh tanaman untuk dapat tumbuh dan berproduksi dengan optimal. Pada tanaman kelapa sawit, pemupukan menghabiskan biaya sekitar 40-60% dari total biaya pemeliharaan Sutarta dan Winarna, 2003. Namun, dengan porsi biaya yang cukup besar tersebut permasalahan mendasar dalam pemupukan yang masih banyak dihadapi oleh pekebun adalah masalah efesiensi pemupukan yang rendah. Ting k at efe k ti v ita s d an efis ien s i pupu k berhubungan dengan banyaknya hara yang diserap tanaman dari sejumlah hara yang diberikan kepada tanaman lewat pupuk. Penggunaan pupuk konvensional pupuk tunggal di perkebunan kelapa sawit dianggap memiliki tingkat efisiensi yang rendah. Lebih dari setengah jumlah pupuk konvensional yang diaplikasikan hilang tercuci oleh air, dan hal ini bukan saja menyebabkan kerugian ekonomis yang tinggi, namun juga mengakibatkan polusi lingkungan yang serius Rashidzadeh dan Olad, 2014; Eghbali et al., 2015; Azeem et al., 2014; Zhang et al., 2011; Kuscu et al., 2014. Jin et al 2011 juga memperkirakan bahwa kehilangan hara pada penggunaan pupuk konvensional antara 30-70%, tergantung oleh metode aplikasi dan kondisi tanah. Selanjutnya Chandra et al., 2009 menyatakan, dengan menggunakan pupuk slow release maka dosis pupuk menjadi lebih kecil, efesiensi pemupukan meningkat, dan permasalahan pencemaran lingkungan dapat teratasi. Dewasa ini teknologi pupuk berkembang cukup pesat, hal ini ditandai dengan banyaknya bermunculan jenis pupuk di pasaran yang menawarkan penigkatan efe kt i vi ta s dan efi si e ns i dib a nd in g p up uk konvensional. Salah satu teknologi pupuk yang banyak didiskusikan oleh pekebun ataupun petani saat ini adalah teknologi slow release. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pupuk slow release memiliki tingkat efektivitas dan efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan pupuk konvensional Fageria and Carvalho, 2014; Xu et al.,2013. Carson et al., 2014 dan Chen et al., 2008 menyatakan bahwa dibandingkan pupuk Nitrogen konvensional, pupuk Nitrogen slow release dapat mendistribusikan hara lebih merata sehingga dapat mengurangi kehilangan hara. Selanjutnya Trenkel 2010 menyatakan bahwa penggunaan pupuk yang memiliki sifat slow release dapat mengurangi kehilangan hara sebesar 20-30% jika dibandingkan dengan pupuk konvensional. Salah satu karakteristik yang mempengaruhi tingkat efektivitas pupuk slow release adalah ukuran partikel pup u k . H a s il p enelitian Qiao et al., 2016 menunjukkan bahwa pengurangan ukuran kisi pupuk pada skala nano berkontribusi dalam meningkatkan kapasitas penyerapan air dengan mengurangi laju penyerapan air sehingga meningkatkan efektivitas sifat slow release pupuk. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk membandingkan tingkat efesiensi serapan hara antara pupuk tunggal dengan pupuk majemuk slow release pada bibit kelapa DAN METODELokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di ruangan terbuka di Pusat Penelitian Kelapa Sawit PPKS Medan, Sumatera Utara. Percobaan lapangan dilakukan selama 6 enam bulan pada tahun 2015 pada pembibitan tahap main nursery. Media tanam yang digunakan adalah sub soil yang diambil pada kedalaman 20-40 cm dari permukaan tanah di kebun percobaan Aek Pancur, Deli Serdang, Sumatera Utara. Berat tanah untuk media tanam bibit per polybag adalah sebanyak 20 disusun menggunakan rancangan acak lengkap RAL tunggal satu faktor dengan 4 empat perlakuan dan 3 tiga ulangan sehingga total ada 12 unit percobaan. Perlakuan yang dicobakan dalam penelitian ini adalah 1 tanpa pemupukan sebagai kontrol P0; 2 aplikasi pupuk NPK majemuk briket P1, 3 pupuk NPK majemuk granular P2, dan 4 pupuk tunggal terdiri dari urea, TSP, MoP, dan kieserite P3. Acuan dosis pupuk tunggal maupun majemuk yang diaplikasikan untuk setiap unit percobaan adalah 3,8 gram N; 2,3 gram P O ; 5,7 gram 2 5K O; dan 0,2 gram MgO. Acuan dosis tersebut dihitung 2berdasarkan standar pemupukan bibit kelapa sawit dari bibit berumur 14 minggu sampai 24 minggu. Komposisi hara pupuk majemuk briket maupun granule ini adalah 16-10-24-0,75 TE, sedangkan kandungan hara pada pupuk tunggal sesuai dengan Standar Nasional Indonesia SNI. Aplikasi perlakuan dilakukan setelah bibit ditanam pada media tanam, dimana bibit yang digunakan adalah bibit berumur 3 bulan pre-nursery. Untuk Eko Noviandi Ginting, Suroso Rahutomo dan Edy Sigit Sutarta perlakuan P1, pupuk diaplikasikan dengan cara dibenam sedalam ± 3 cm dari permukaan tanah. Sementara untuk perlakuan P2 dan P3, pupuk diaplikasikan dengan cara tabur merata di permukaan tanah. Parameter penelitian yang diamati adalah pertumbuhan vegetatif tanaman yang meliputi tinggi dan dimater batang, berat kering tanaman dan efisiensi pupuk pada masing-masing perlakuan. Selama penelitian berlangsung tidak dilakukan penyiraman bibit kelapa sawit, dengan kata lain sumber air tanaman hanya berasal dari hujan. Tingkat efisiensi masing-masing perlakuan pupuk diukur berdasarkan efisiensi penggunaan hara oleh bibit kel apa s a wit d ari masing-masin g per lakuan pemupukan atau yang lebih dikenal dengan Nutrient use efficiency NUE. NUE dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan beberapa indeks agronomi yaitu 1 Nutr i e n t Uptake/NU; 2 Appare n t Re c overy Efficiency/RE; 3 Physiological Efficiency/PE; dan 4 Agronomic Efficiency/AE Dobermann, 2007; Roberts, 2008; Snyder, 2009. NU memberikan gambaran banyaknya hara yang diserap tanaman dari dalam tanah, RE akan menjawab banyaknya hara yang diserap oleh tanaman dari hara yang diberikan lewat pupuk, dengan demikian RE memberikan gambaran potensi banyaknya hara yang hilang dari sitem tanaman. Sementara PE mencerminkan besarnya kenaikan produksi berat kering total tanaman dari setiap unit hara yang diserap tanaman dan AE akan menjawab besarnya peningkatan produksi tanaman dari setiap unit hara yang diberikan. NU, RE, PE, dan AE dihitung berdasarkan persamaan serapan hara beberapa jenis pupuk pada bibit kelapa sawitDimana PE = Efesiensi Fisiologi Physiological EfficiencyP1,2,3 = Perlakuan P1, P2, P3P0 = Perlakuan P0 tanpa pupukDimana RE = Efesiensi Serapan Hara Recovery efficiencyP1,2,3 = Perlakuan P1, P2, P3P0 = Perlakuan P0 tanpa pupukDimana NU = Serapan Hara Nutrient UptakeDimana AE = Efesiensi Agronomis Agronomic efficiencyP1,2,3 = Perlakuan P1, P2, P3P0 = Perlakuan P0 tanpa pupuk81berbau khas dari karoten dan rasanya agak langu. Penggunaan minyak inti sawit, minyak kelapa yang diolah dari santan dan lemak kakao dimaksudkan untuk menurunkan bahkan menghilangkan aroma dari MSM. Semakin tinggi jumlah dari ketiga jenis minyak tersebut menyebabkan tingkat kesukaan dari campuran semakin tinggi dikarenakan aroma dari MSM semakin rendah atau Organoleptik Campuran MSM dan Minyak Nabati Tingkat kesukaan MSM dan campurannya terhadap aroma dan rasa ditunjukkan pada Tabel 2. Nilai rerata tingkat kesukaan terhadap aroma dan rasa MSM sangat rendah sebesar 1,3-1,4 yang berarti tidak suka hingga kurang suka. Rendahnya nilai kesukaan ini disebabkan oleh MSM berwarna kemerahan dan 80PENDAHULUAN Nitrogen, Phosphor, Kalium dan Magnesium merupakan hara makro esensial yang dibutuhkan oleh tanaman untuk dapat tumbuh dan berproduksi dengan optimal. Pada tanaman kelapa sawit, pemupukan menghabiskan biaya sekitar 40-60% dari total biaya pemeliharaan Sutarta dan Winarna, 2003. Namun, dengan porsi biaya yang cukup besar tersebut permasalahan mendasar dalam pemupukan yang masih banyak dihadapi oleh pekebun adalah masalah efesiensi pemupukan yang rendah. Ting k at efe k ti v ita s d an efis ien s i pupu k berhubungan dengan banyaknya hara yang diserap tanaman dari sejumlah hara yang diberikan kepada tanaman lewat pupuk. Penggunaan pupuk konvensional pupuk tunggal di perkebunan kelapa sawit dianggap memiliki tingkat efisiensi yang rendah. Lebih dari setengah jumlah pupuk konvensional yang diaplikasikan hilang tercuci oleh air, dan hal ini bukan saja menyebabkan kerugian ekonomis yang tinggi, namun juga mengakibatkan polusi lingkungan yang serius Rashidzadeh dan Olad, 2014; Eghbali et al., 2015; Azeem et al., 2014; Zhang et al., 2011; Kuscu et al., 2014. Jin et al 2011 juga memperkirakan bahwa kehilangan hara pada penggunaan pupuk konvensional antara 30-70%, tergantung oleh metode aplikasi dan kondisi tanah. Selanjutnya Chandra et al., 2009 menyatakan, dengan menggunakan pupuk slow release maka dosis pupuk menjadi lebih kecil, efesiensi pemupukan meningkat, dan permasalahan pencemaran lingkungan dapat teratasi. Dewasa ini teknologi pupuk berkembang cukup pesat, hal ini ditandai dengan banyaknya bermunculan jenis pupuk di pasaran yang menawarkan penigkatan efe kt i vi ta s dan efi si e ns i dib a nd in g p up uk konvensional. Salah satu teknologi pupuk yang banyak didiskusikan oleh pekebun ataupun petani saat ini adalah teknologi slow release. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pupuk slow release memiliki tingkat efektivitas dan efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan pupuk konvensional Fageria and Carvalho, 2014; Xu et al.,2013. Carson et al., 2014 dan Chen et al., 2008 menyatakan bahwa dibandingkan pupuk Nitrogen konvensional, pupuk Nitrogen slow release dapat mendistribusikan hara lebih merata sehingga dapat mengurangi kehilangan hara. Selanjutnya Trenkel 2010 menyatakan bahwa penggunaan pupuk yang memiliki sifat slow release dapat mengurangi kehilangan hara sebesar 20-30% jika dibandingkan dengan pupuk konvensional. Salah satu karakteristik yang mempengaruhi tingkat efektivitas pupuk slow release adalah ukuran partikel pup u k . H a s il p enelitian Qiao et al., 2016 menunjukkan bahwa pengurangan ukuran kisi pupuk pada skala nano berkontribusi dalam meningkatkan kapasitas penyerapan air dengan mengurangi laju penyerapan air sehingga meningkatkan efektivitas sifat slow release pupuk. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk membandingkan tingkat efesiensi serapan hara antara pupuk tunggal dengan pupuk majemuk slow release pada bibit kelapa DAN METODELokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di ruangan terbuka di Pusat Penelitian Kelapa Sawit PPKS Medan, Sumatera Utara. Percobaan lapangan dilakukan selama 6 enam bulan pada tahun 2015 pada pembibitan tahap main nursery. Media tanam yang digunakan adalah sub soil yang diambil pada kedalaman 20-40 cm dari permukaan tanah di kebun percobaan Aek Pancur, Deli Serdang, Sumatera Utara. Berat tanah untuk media tanam bibit per polybag adalah sebanyak 20 disusun menggunakan rancangan acak lengkap RAL tunggal satu faktor dengan 4 empat perlakuan dan 3 tiga ulangan sehingga total ada 12 unit percobaan. Perlakuan yang dicobakan dalam penelitian ini adalah 1 tanpa pemupukan sebagai kontrol P0; 2 aplikasi pupuk NPK majemuk briket P1, 3 pupuk NPK majemuk granular P2, dan 4 pupuk tunggal terdiri dari urea, TSP, MoP, dan kieserite P3. Acuan dosis pupuk tunggal maupun majemuk yang diaplikasikan untuk setiap unit percobaan adalah 3,8 gram N; 2,3 gram P O ; 5,7 gram 2 5K O; dan 0,2 gram MgO. Acuan dosis tersebut dihitung 2berdasarkan standar pemupukan bibit kelapa sawit dari bibit berumur 14 minggu sampai 24 minggu. Komposisi hara pupuk majemuk briket maupun granule ini adalah 16-10-24-0,75 TE, sedangkan kandungan hara pada pupuk tunggal sesuai dengan Standar Nasional Indonesia SNI. Aplikasi perlakuan dilakukan setelah bibit ditanam pada media tanam, dimana bibit yang digunakan adalah bibit berumur 3 bulan pre-nursery. Untuk Eko Noviandi Ginting, Suroso Rahutomo dan Edy Sigit Sutarta perlakuan P1, pupuk diaplikasikan dengan cara dibenam sedalam ± 3 cm dari permukaan tanah. Sementara untuk perlakuan P2 dan P3, pupuk diaplikasikan dengan cara tabur merata di permukaan tanah. Parameter penelitian yang diamati adalah pertumbuhan vegetatif tanaman yang meliputi tinggi dan dimater batang, berat kering tanaman dan efisiensi pupuk pada masing-masing perlakuan. Selama penelitian berlangsung tidak dilakukan penyiraman bibit kelapa sawit, dengan kata lain sumber air tanaman hanya berasal dari hujan. Tingkat efisiensi masing-masing perlakuan pupuk diukur berdasarkan efisiensi penggunaan hara oleh bibit kel apa s a wit d ari masing-masin g per lakuan pemupukan atau yang lebih dikenal dengan Nutrient use efficiency NUE. NUE dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan beberapa indeks agronomi yaitu 1 Nutr i e n t Uptake/NU; 2 Appare n t Re c overy Efficiency/RE; 3 Physiological Efficiency/PE; dan 4 Agronomic Efficiency/AE Dobermann, 2007; Roberts, 2008; Snyder, 2009. NU memberikan gambaran banyaknya hara yang diserap tanaman dari dalam tanah, RE akan menjawab banyaknya hara yang diserap oleh tanaman dari hara yang diberikan lewat pupuk, dengan demikian RE memberikan gambaran potensi banyaknya hara yang hilang dari sitem tanaman. Sementara PE mencerminkan besarnya kenaikan produksi berat kering total tanaman dari setiap unit hara yang diserap tanaman dan AE akan menjawab besarnya peningkatan produksi tanaman dari setiap unit hara yang diberikan. NU, RE, PE, dan AE dihitung berdasarkan persamaan serapan hara beberapa jenis pupuk pada bibit kelapa sawitDimana PE = Efesiensi Fisiologi Physiological EfficiencyP1,2,3 = Perlakuan P1, P2, P3P0 = Perlakuan P0 tanpa pupukDimana RE = Efesiensi Serapan Hara Recovery efficiencyP1,2,3 = Perlakuan P1, P2, P3P0 = Perlakuan P0 tanpa pupukDimana NU = Serapan Hara Nutrient UptakeDimana AE = Efesiensi Agronomis Agronomic efficiencyP1,2,3 = Perlakuan P1, P2, P3P0 = Perlakuan P0 tanpa pupuk81berbau khas dari karoten dan rasanya agak langu. Penggunaan minyak inti sawit, minyak kelapa yang diolah dari santan dan lemak kakao dimaksudkan untuk menurunkan bahkan menghilangkan aroma dari MSM. Semakin tinggi jumlah dari ketiga jenis minyak tersebut menyebabkan tingkat kesukaan dari campuran semakin tinggi dikarenakan aroma dari MSM semakin rendah atau Organoleptik Campuran MSM dan Minyak Nabati Tingkat kesukaan MSM dan campurannya terhadap aroma dan rasa ditunjukkan pada Tabel 2. Nilai rerata tingkat kesukaan terhadap aroma dan rasa MSM sangat rendah sebesar 1,3-1,4 yang berarti tidak suka hingga kurang suka. Rendahnya nilai kesukaan ini disebabkan oleh MSM berwarna kemerahan dan HASIL DAN PEMBAHASANHasil analisis tanah awal dan curah hujan Fraksi tanah didominasi fraksi pasir yang mencapai 62%, sedangkan tekstur tanah tergolong lempung berpasir. Tanah tergolong masam dengan pH 5,7. Kadar C relatif rendah yaitu karena sampel tanah diambil dari lapisan sub soil yang tidak memperoleh akumulasi bahan organik langsung dari dekomposisi serasah tanaman. Kadar hara lain seperti N dan P serta K, Ca, Na, dan Mg yang merupakan kation tertukar juga tergolong rendah. Tingginya kandungan fraksi pasir, rendahnya C organik dan kapasitas tukar kation KTK tanah yang hanya sebesar 7,52 me/100 g merupakan beberapa indikator akan rendahnya kemampuan tanah dalam hal menjerap dan menyediakan hara untuk pertumbuhan tanaman, sehingga diharapkan serapan hara akan tinggi. Hasil analisis awal tanah yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Rerata curah hujan bulanan selama penelitian adalah sebesar 128 mm/bulan, Hidayat et al., 2013 menyatakan bahwa besarnya evapotranspirasi potensial ETP tanaman kelapa sawit di lapangan sebesar 4 mm/hari atau sekitar 120 mm/bulan. Dengan demikian maka untuk memenuhi kebutuhan air tanaman kelapa sawit dibutuhkan curah hujan setidaknya sama dengan kebutuhan air tanaman. Berdasarkan hal tersebut maka dapat diasumsikan kebutuhan air bibit kelapa sawit selama penelitian dapat terpenuhi dari air Tanaman Tinggi dan diameter batang tanaman pada perlakuan pemupukan P1, P2, dan P3 secara nyata lebih tinggi sekitar 32% dibanding perlakuan kontrol P0 Gambar 2. Hasil ini mengindikasikan bahwa untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, bibit kelapa sawit membutuhkan hara yang cukup yang dalam hal ini diperoleh dari pupuk yang diaplikasikan. Suriatna 2002 menyatakan bahwa pada masa pe rt u mb uha n v eg e ta tif , t an a ma n s a ng at membutuhkan hara, terutama Nitrogen, sehingga apabila pada masa ini tanaman kekurangan hara khususnya Nitrogen, maka pertumbuhan tanaman akan terhambat dan tanaman menjadi kerdil. Tambunan 2009 juga menyatakan bahwa tanaman membutuhkan hara yang cukup untuk proses fotosintesis guna menghasilkan fotosintat dan asimilat yang akan dimanfaatkan tanaman untuk keperluan pertumbuhan vegetatif. Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa walaupun secara statistik menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antara perlakuan P1, P2 dan P3 terhadap tinggi dan diameter batang tanaman, namun tinggi dan diameter batang tertinggi diperoleh pada perlakuan P3. Urutan pengaruh perlakuan terhadap tinggi tanaman dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah P3 > P1 > P2 > P0, sementara urutan pengaruh perlakuan terhadap diameter batang tanaman dari yang tertinggi sampai yang terendah mengikuti pola P3 > P2 > P1 > 1. Hasil analisis awal tanah yang digunakan sebagai media 1. Initial analysis of soil sample used as planting *atas dasar berat kering oven 105C, KT kation tertukar, åKT Jumlah kation tertukar, KTK = kapasitas tukar kation, KB=kejenuhan basaNote * based on oven dry weight with 1050C; KT exchangeable cations; åKT total of exchangeable cations; KTK cation exchange capacity; KB base Noviandi Ginting, Suroso Rahutomo dan Edy Sigit Sutarta Gambar 1. Curah hujan bulanan selama penelitianFigure 1. Monthly rainfall during the Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak Duncan p=0,05Note Values followed by same letters are not significantly different based on Duncan test p=0,05Gambar 2. Rerata tinggi tanaman kiri dan diameter batang kanan pada setiap 2. Average of height of plant left and stem diameter right on each treatmentBerat Kering, Kadar Hara Tanaman, dan Serapan HaraPerlakuan pemupukan P1, P2 dan P3 secara nyata mempengaruhi bobot kering atas daun, pelepah dan batang dan akar tanaman dibandingkan control tanpa pupuk. Berat kering total tertinggi diperoleh pada perlakuan P1 yaitu sebesar 84,703 gram diikuti dengan perlakuan P3 dan P2 masing-masing sebesar 76,133 gam dan 73,180 gram yang berbeda nyata dengan berat kering total pada perlakuan P0 yang hanya sebesar 29,857 gram. Namun demikian hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara perlakuan P1, P2 dan P3 Tabel 2. Berat kering tanaman merupakan parameter pertumbuhan tanaman yang mencerminkan status nutrisi tanaman dimana berat kering merupakan cerminan besarnya asimilat yang dapat dihasilkan melalui proses fotosintesis Syahrovy et al., 2015. 83Efisiensi serapan hara beberapa jenis pupuk pada bibit kelapa sawitberbau khas dari karoten dan rasanya agak langu. Penggunaan minyak inti sawit, minyak kelapa yang diolah dari santan dan lemak kakao dimaksudkan untuk menurunkan bahkan menghilangkan aroma dari MSM. Semakin tinggi jumlah dari ketiga jenis minyak tersebut menyebabkan tingkat kesukaan dari campuran semakin tinggi dikarenakan aroma dari MSM semakin rendah atau Organoleptik Campuran MSM dan Minyak Nabati Tingkat kesukaan MSM dan campurannya terhadap aroma dan rasa ditunjukkan pada Tabel 2. Nilai rerata tingkat kesukaan terhadap aroma dan rasa MSM sangat rendah sebesar 1,3-1,4 yang berarti tidak suka hingga kurang suka. Rendahnya nilai kesukaan ini disebabkan oleh MSM berwarna kemerahan dan HASIL DAN PEMBAHASANHasil analisis tanah awal dan curah hujan Fraksi tanah didominasi fraksi pasir yang mencapai 62%, sedangkan tekstur tanah tergolong lempung berpasir. Tanah tergolong masam dengan pH 5,7. Kadar C relatif rendah yaitu karena sampel tanah diambil dari lapisan sub soil yang tidak memperoleh akumulasi bahan organik langsung dari dekomposisi serasah tanaman. Kadar hara lain seperti N dan P serta K, Ca, Na, dan Mg yang merupakan kation tertukar juga tergolong rendah. Tingginya kandungan fraksi pasir, rendahnya C organik dan kapasitas tukar kation KTK tanah yang hanya sebesar 7,52 me/100 g merupakan beberapa indikator akan rendahnya kemampuan tanah dalam hal menjerap dan menyediakan hara untuk pertumbuhan tanaman, sehingga diharapkan serapan hara akan tinggi. Hasil analisis awal tanah yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Rerata curah hujan bulanan selama penelitian adalah sebesar 128 mm/bulan, Hidayat et al., 2013 menyatakan bahwa besarnya evapotranspirasi potensial ETP tanaman kelapa sawit di lapangan sebesar 4 mm/hari atau sekitar 120 mm/bulan. Dengan demikian maka untuk memenuhi kebutuhan air tanaman kelapa sawit dibutuhkan curah hujan setidaknya sama dengan kebutuhan air tanaman. Berdasarkan hal tersebut maka dapat diasumsikan kebutuhan air bibit kelapa sawit selama penelitian dapat terpenuhi dari air Tanaman Tinggi dan diameter batang tanaman pada perlakuan pemupukan P1, P2, dan P3 secara nyata lebih tinggi sekitar 32% dibanding perlakuan kontrol P0 Gambar 2. Hasil ini mengindikasikan bahwa untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, bibit kelapa sawit membutuhkan hara yang cukup yang dalam hal ini diperoleh dari pupuk yang diaplikasikan. Suriatna 2002 menyatakan bahwa pada masa pe rt u mb uha n v eg e ta tif , t an a ma n s a ng at membutuhkan hara, terutama Nitrogen, sehingga apabila pada masa ini tanaman kekurangan hara khususnya Nitrogen, maka pertumbuhan tanaman akan terhambat dan tanaman menjadi kerdil. Tambunan 2009 juga menyatakan bahwa tanaman membutuhkan hara yang cukup untuk proses fotosintesis guna menghasilkan fotosintat dan asimilat yang akan dimanfaatkan tanaman untuk keperluan pertumbuhan vegetatif. Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa walaupun secara statistik menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antara perlakuan P1, P2 dan P3 terhadap tinggi dan diameter batang tanaman, namun tinggi dan diameter batang tertinggi diperoleh pada perlakuan P3. Urutan pengaruh perlakuan terhadap tinggi tanaman dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah P3 > P1 > P2 > P0, sementara urutan pengaruh perlakuan terhadap diameter batang tanaman dari yang tertinggi sampai yang terendah mengikuti pola P3 > P2 > P1 > 1. Hasil analisis awal tanah yang digunakan sebagai media 1. Initial analysis of soil sample used as planting *atas dasar berat kering oven 105C, KT kation tertukar, åKT Jumlah kation tertukar, KTK = kapasitas tukar kation, KB=kejenuhan basaNote * based on oven dry weight with 1050C; KT exchangeable cations; åKT total of exchangeable cations; KTK cation exchange capacity; KB base Noviandi Ginting, Suroso Rahutomo dan Edy Sigit Sutarta Gambar 1. Curah hujan bulanan selama penelitianFigure 1. Monthly rainfall during the Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak Duncan p=0,05Note Values followed by same letters are not significantly different based on Duncan test p=0,05Gambar 2. Rerata tinggi tanaman kiri dan diameter batang kanan pada setiap 2. Average of height of plant left and stem diameter right on each treatmentBerat Kering, Kadar Hara Tanaman, dan Serapan HaraPerlakuan pemupukan P1, P2 dan P3 secara nyata mempengaruhi bobot kering atas daun, pelepah dan batang dan akar tanaman dibandingkan control tanpa pupuk. Berat kering total tertinggi diperoleh pada perlakuan P1 yaitu sebesar 84,703 gram diikuti dengan perlakuan P3 dan P2 masing-masing sebesar 76,133 gam dan 73,180 gram yang berbeda nyata dengan berat kering total pada perlakuan P0 yang hanya sebesar 29,857 gram. Namun demikian hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara perlakuan P1, P2 dan P3 Tabel 2. Berat kering tanaman merupakan parameter pertumbuhan tanaman yang mencerminkan status nutrisi tanaman dimana berat kering merupakan cerminan besarnya asimilat yang dapat dihasilkan melalui proses fotosintesis Syahrovy et al., 2015. 83Efisiensi serapan hara beberapa jenis pupuk pada bibit kelapa sawitberbau khas dari karoten dan rasanya agak langu. Penggunaan minyak inti sawit, minyak kelapa yang diolah dari santan dan lemak kakao dimaksudkan untuk menurunkan bahkan menghilangkan aroma dari MSM. Semakin tinggi jumlah dari ketiga jenis minyak tersebut menyebabkan tingkat kesukaan dari campuran semakin tinggi dikarenakan aroma dari MSM semakin rendah atau Organoleptik Campuran MSM dan Minyak Nabati Tingkat kesukaan MSM dan campurannya terhadap aroma dan rasa ditunjukkan pada Tabel 2. Nilai rerata tingkat kesukaan terhadap aroma dan rasa MSM sangat rendah sebesar 1,3-1,4 yang berarti tidak suka hingga kurang suka. Rendahnya nilai kesukaan ini disebabkan oleh MSM berwarna kemerahan dan 84Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa pada bibit kelapa sawit, berat kering tajuk batang dan daun memiliki proporsi 61 - 71% dari berat kering total tajuk + akar tanaman. Dengan kata lain, biomassa akar bibit kelapa sawit dalam penelitian ini hanya sekitar 29-39% dari total biomassa bibit. Rata-rata berat kering pada perlakuan pemupukan dalam penelitian ini adalah sebesar 78,01 gram atau sekitar dua kali lebih tinggi dibanding rerata berat kering pada kontrol yang hanya sebesar 29,59 gram. Uji statistik menunjukkan bahwa kadar hara tanaman pada seluruh perlakuan tidak berbeda nyata satu dengan yang lain kecuali pada kadar hara Mg dimana perlakuan kontrol memiliki kadar hara Mg yang nyata lebih tinggi dibanding perlakuan pemupukan Tabel 3. Hal ini diduga disebabkan adanya efek pengenceran dilution effect yang terjadi pada perlakuan P0, dimana kadar hara yang diperoleh dipengaruhi oleh berat bio massa yang dihasilkan. Jarrell dan Beverly, 1981 menyatakan bahwa ketika pertumbuhan tanaman dibatasi oleh ketersediaan hara, maka kecepatan akumulasi bahan kering tanaman meningkat lebih cepat dibanding kecepatan akumulasi hara, dan hal ini menyebabkan konsentrasi hara tanaman menjadi rendah. Serapan setiap hara merupakan hasil perkalian antara kadar hara tanaman dengan berat kering tanaman Li et al., 2015. Hasil uji statistik memperlihatkan bahwa perlakuan pemupukan berpengaruh nyata pada serapan semua hara. Tabel 3 menunjukkan bahwa serapan hara N, P, K, dan Mg tertinggi diperoleh pada perlakuan P1 namun tidak berbeda nyata secara stastistik dibandingkan perlakuan P2 dan P3. Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah hara yang dilepaskan dari pupuk pada perlakuan P1 relatif lebih besar dibanding P2 dan P3. Diduga proses pelepasan hara N, P, K, dan Mg pada perlakuan P1 bertepatan dengan saat tanaman membutuhkan N, P, K, dan Mg untuk tumbuh dan berkembang. Dobermann 2007 menyatakan bahwa efisiensi serapan dipengaruhi oleh keseimbangan antara kebutuhan tanaman dengan jumlah hara yang dilepas dari pupuk. Selanjutnya Tambunan et al., 20 14 juga me ny at ak a n bah w a hal ya ng mempengaruhi efisiensi serapan hara adalah unsur hara yang dilepas dari pupuk, semakin banyak hara yang dilepas oleh pupuk maka akan semakin tinggi efisiensi pemupukan. Selain itu, serapan hara juga berhubungan erat dengan perkembangan perakaran tanaman. Pada perkembangan akar yang baik maka serapan hara juga akan semakin baik. Pada Tabel 2 terlihat bahwa berat kering akar tanaman pada perlakuan P1 lebih tinggi dibandingkan P2 dan P3, yang mengindikasikan bahwa perkembangan akar tanaman pada perlakuan P1 lebih baik dibanding P2 dan P3. Hal ini diduga disebabkan oleh efektivitas dari pupuk briket pada perlakuan P1 yang lebih tinggi dibanding perlakuan 2. Rerata berat kering atas, akar dan total tanaman pada setiap perlakuanTable 2. Average of upper plant dry weight, roots, and total on each treatmentKeterangan Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak Duncan p=0,05.Note Means value followed by the same letter indicate no significant differences within the column, as determined by Duncan test p = 0,05.Eko Noviandi Ginting, Suroso Rahutomo dan Edy Sigit Sutarta Tabel 3. Rerata kadar hara dan serapan hara tanaman pada setiap 3. Average of plant nutrients content and nutrient uptake on each Use Eficiency NUE Efisiensi Serapan Hara RE, Efisiensi Fisiologi PE dan Efisiensi Agronomis AE Efisiensi serapan h a ra R E m e r u pakan perbandingan antara jumlah hara yang diserap oleh tanaman dengan jumlah hara yang diberikan lewat pupuk. Besarnya serapan hara pada masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 4. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa serapan hara N, P, K, dan Mg tanaman pada perlakuan pemupukan P1, P2, P3 nyata lebih tinggi dibandingkan kontrol P0. Penambahan hara lewat pupuk pada perlakuan pemupukan menyebabkan jumlah hara yang tersedia di dalam tanah menjadi lebih tinggi dibanding perlakuan kontrol, sehingga hara yang diserap bibit kelapa sawit pada perlakuan pemupukan lebih tinggi dibandingkan kontrol. Secara statistik, efisiensi serapan hara N, P, K, dan Mg pada perlakuan P1, P2, dan P3 tidak berbeda nyata satu dengan yang lainnya. Sama halnya dengan serapan hara, efisiensi serapan hara tertinggi pada penelitian ini juga diperoleh pada perlakuan P1. Rata-rata efisiensi serapan hara N pada penelitian ini sebesar 13,22% yang mengindikasikan sekitar 87% hara N hilang dari sejumlah hara N yang diberikan. Zerpa dan Fox 2011, Kissel et al., 2009 serta Elliot dan Fox 2014 menyatakan bahwa hilangnya N dari pupuk akibat penguapan berkisar antara 10-50%. Nilai efisiensi serapan N tersebut masih terlalu kecil jika dibanding dengan hasil-hasil penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa nilai serapan hara N oleh tanaman umumnya sebesar 30-50% Sheoran et al., 2016. Hal ini disebabkan sangat dinamisnya hara N di dalam tanah, dimana hara N mengalami denitrifikasi dan volatilisasi atau terkadang terimmobilisasi di dalam bahan organik tanah. Dari seluruh hara yang diamati serapan hara P memiliki serapan paling kecil. Hal ini mungkin disebabkan oleh ketersediaan unsur P yang rendah di dalam tanah. Efisiensi serapan hara P Keterangan Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak Duncan p=0,05.Note Means value followed by the same letter indicate no significant differences within the column, as determined by Duncan test p = 0,05.85Efisiensi serapan hara beberapa jenis pupuk pada bibit kelapa sawitberbau khas dari karoten dan rasanya agak langu. Penggunaan minyak inti sawit, minyak kelapa yang diolah dari santan dan lemak kakao dimaksudkan untuk menurunkan bahkan menghilangkan aroma dari MSM. Semakin tinggi jumlah dari ketiga jenis minyak tersebut menyebabkan tingkat kesukaan dari campuran semakin tinggi dikarenakan aroma dari MSM semakin rendah atau Organoleptik Campuran MSM dan Minyak Nabati Tingkat kesukaan MSM dan campurannya terhadap aroma dan rasa ditunjukkan pada Tabel 2. Nilai rerata tingkat kesukaan terhadap aroma dan rasa MSM sangat rendah sebesar 1,3-1,4 yang berarti tidak suka hingga kurang suka. Rendahnya nilai kesukaan ini disebabkan oleh MSM berwarna kemerahan dan 84Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa pada bibit kelapa sawit, berat kering tajuk batang dan daun memiliki proporsi 61 - 71% dari berat kering total tajuk + akar tanaman. Dengan kata lain, biomassa akar bibit kelapa sawit dalam penelitian ini hanya sekitar 29-39% dari total biomassa bibit. Rata-rata berat kering pada perlakuan pemupukan dalam penelitian ini adalah sebesar 78,01 gram atau sekitar dua kali lebih tinggi dibanding rerata berat kering pada kontrol yang hanya sebesar 29,59 gram. Uji statistik menunjukkan bahwa kadar hara tanaman pada seluruh perlakuan tidak berbeda nyata satu dengan yang lain kecuali pada kadar hara Mg dimana perlakuan kontrol memiliki kadar hara Mg yang nyata lebih tinggi dibanding perlakuan pemupukan Tabel 3. Hal ini diduga disebabkan adanya efek pengenceran dilution effect yang terjadi pada perlakuan P0, dimana kadar hara yang diperoleh dipengaruhi oleh berat bio massa yang dihasilkan. Jarrell dan Beverly, 1981 menyatakan bahwa ketika pertumbuhan tanaman dibatasi oleh ketersediaan hara, maka kecepatan akumulasi bahan kering tanaman meningkat lebih cepat dibanding kecepatan akumulasi hara, dan hal ini menyebabkan konsentrasi hara tanaman menjadi rendah. Serapan setiap hara merupakan hasil perkalian antara kadar hara tanaman dengan berat kering tanaman Li et al., 2015. Hasil uji statistik memperlihatkan bahwa perlakuan pemupukan berpengaruh nyata pada serapan semua hara. Tabel 3 menunjukkan bahwa serapan hara N, P, K, dan Mg tertinggi diperoleh pada perlakuan P1 namun tidak berbeda nyata secara stastistik dibandingkan perlakuan P2 dan P3. Hal ini mengindikasikan bahwa jumlah hara yang dilepaskan dari pupuk pada perlakuan P1 relatif lebih besar dibanding P2 dan P3. Diduga proses pelepasan hara N, P, K, dan Mg pada perlakuan P1 bertepatan dengan saat tanaman membutuhkan N, P, K, dan Mg untuk tumbuh dan berkembang. Dobermann 2007 menyatakan bahwa efisiensi serapan dipengaruhi oleh keseimbangan antara kebutuhan tanaman dengan jumlah hara yang dilepas dari pupuk. Selanjutnya Tambunan et al., 20 14 juga me ny at ak a n bah w a hal ya ng mempengaruhi efisiensi serapan hara adalah unsur hara yang dilepas dari pupuk, semakin banyak hara yang dilepas oleh pupuk maka akan semakin tinggi efisiensi pemupukan. Selain itu, serapan hara juga berhubungan erat dengan perkembangan perakaran tanaman. Pada perkembangan akar yang baik maka serapan hara juga akan semakin baik. Pada Tabel 2 terlihat bahwa berat kering akar tanaman pada perlakuan P1 lebih tinggi dibandingkan P2 dan P3, yang mengindikasikan bahwa perkembangan akar tanaman pada perlakuan P1 lebih baik dibanding P2 dan P3. Hal ini diduga disebabkan oleh efektivitas dari pupuk briket pada perlakuan P1 yang lebih tinggi dibanding perlakuan 2. Rerata berat kering atas, akar dan total tanaman pada setiap perlakuanTable 2. Average of upper plant dry weight, roots, and total on each treatmentKeterangan Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak Duncan p=0,05.Note Means value followed by the same letter indicate no significant differences within the column, as determined by Duncan test p = 0,05.Eko Noviandi Ginting, Suroso Rahutomo dan Edy Sigit Sutarta Tabel 3. Rerata kadar hara dan serapan hara tanaman pada setiap 3. Average of plant nutrients content and nutrient uptake on each Use Eficiency NUE Efisiensi Serapan Hara RE, Efisiensi Fisiologi PE dan Efisiensi Agronomis AE Efisiensi serapan h a ra R E m e r u pakan perbandingan antara jumlah hara yang diserap oleh tanaman dengan jumlah hara yang diberikan lewat pupuk. Besarnya serapan hara pada masing-masing perlakuan disajikan pada Tabel 4. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa serapan hara N, P, K, dan Mg tanaman pada perlakuan pemupukan P1, P2, P3 nyata lebih tinggi dibandingkan kontrol P0. Penambahan hara lewat pupuk pada perlakuan pemupukan menyebabkan jumlah hara yang tersedia di dalam tanah menjadi lebih tinggi dibanding perlakuan kontrol, sehingga hara yang diserap bibit kelapa sawit pada perlakuan pemupukan lebih tinggi dibandingkan kontrol. Secara statistik, efisiensi serapan hara N, P, K, dan Mg pada perlakuan P1, P2, dan P3 tidak berbeda nyata satu dengan yang lainnya. Sama halnya dengan serapan hara, efisiensi serapan hara tertinggi pada penelitian ini juga diperoleh pada perlakuan P1. Rata-rata efisiensi serapan hara N pada penelitian ini sebesar 13,22% yang mengindikasikan sekitar 87% hara N hilang dari sejumlah hara N yang diberikan. Zerpa dan Fox 2011, Kissel et al., 2009 serta Elliot dan Fox 2014 menyatakan bahwa hilangnya N dari pupuk akibat penguapan berkisar antara 10-50%. Nilai efisiensi serapan N tersebut masih terlalu kecil jika dibanding dengan hasil-hasil penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa nilai serapan hara N oleh tanaman umumnya sebesar 30-50% Sheoran et al., 2016. Hal ini disebabkan sangat dinamisnya hara N di dalam tanah, dimana hara N mengalami denitrifikasi dan volatilisasi atau terkadang terimmobilisasi di dalam bahan organik tanah. Dari seluruh hara yang diamati serapan hara P memiliki serapan paling kecil. Hal ini mungkin disebabkan oleh ketersediaan unsur P yang rendah di dalam tanah. Efisiensi serapan hara P Keterangan Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak Duncan p=0,05.Note Means value followed by the same letter indicate no significant differences within the column, as determined by Duncan test p = 0,05.85Efisiensi serapan hara beberapa jenis pupuk pada bibit kelapa sawitberbau khas dari karoten dan rasanya agak langu. Penggunaan minyak inti sawit, minyak kelapa yang diolah dari santan dan lemak kakao dimaksudkan untuk menurunkan bahkan menghilangkan aroma dari MSM. Semakin tinggi jumlah dari ketiga jenis minyak tersebut menyebabkan tingkat kesukaan dari campuran semakin tinggi dikarenakan aroma dari MSM semakin rendah atau Organoleptik Campuran MSM dan Minyak Nabati Tingkat kesukaan MSM dan campurannya terhadap aroma dan rasa ditunjukkan pada Tabel 2. Nilai rerata tingkat kesukaan terhadap aroma dan rasa MSM sangat rendah sebesar 1,3-1,4 yang berarti tidak suka hingga kurang suka. Rendahnya nilai kesukaan ini disebabkan oleh MSM berwarna kemerahan dan umumnya rendah hal ini dikarenakan hara P merupakan salah satu hara yang memiliki mobilitas dan ketersediaan yang rendah di dalam tanah yang disebabkan oleh adanya fiksasi P oleh unsur lain Roberts, 2008; Shaheen et al., 2007. Gambar 3 memperlihatkan hubungan antara serapan hara N, P, K, dan Mg tanaman terhadap berat kering tanaman. Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa semakin tinggi serapan hara maka semakin tinggi berat kering tanaman, yang berarti kebutuhan hara tanaman sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Hal ini menunjukkan ada hubungan liner antara kebutuhan hara dengan fase pertumbuhan tanaman, dimana semakin berkembangnya vegetatif tanaman maka semakin banyak hara yang dibutuhkan oleh tanaman. Efisiensi fisologis menggambarkan besarnya peningkatan produksi berat kering dari setiap gram hara yang diserap tanaman. Tabel 4 menunjukkan efisiensi fisiologis dari masing-masing perlakuan bervariasi terhadap masing-masing jenis hara. Efisiensi fisiologis hara P diperoleh pada perlakuan P2 yang berbeda nyata dengan P3 namun tidak berbeda nyata dengan P1, selanjutnya efisiensi fisiologis hara K nilai tertinggi diperoleh pada perlakuan P1 yang berbeda nyata dengan P3 namun tidak berbeda nyata dengan P2. Sementara untuk efisiensi hara N dan Mg masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata satu dengan yang lainnya. Pola efisiensi fisiologis dari yang terbesar sampai dengan yang terkecil adalah P > Mg > N > K. Pola ini menggambarkan bahwa dalam penelitian ini, hara P merupakan hara yang memiliki kontribusi yang paling besar terhadap peningkatan berat kering tanaman, diikuti hara Mg, N, dan K. Dengan kata lain, dibanding hara N, K, dan Mg, tanaman memberikan respon yang paling besar terbesar terhadap hara P. Hal ini mungkin disebabkan hara P merupakan hara yang menjadi faktor pembatas terbesar terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman dibanding hara lainnya. Efisiensi agronomis AE merupakan ukuran peningkatan hasil, dalam hal ini berat kering tanaman, dari setiap unit hara yang berikan lewat pupuk. Dengan kata lain, efisiensi agronomis menggambarkan respon tanaman terhadap hara yang diberikan. Niai efisiensi Gambar 3. Hubungan serapan hara tanaman dengan berat kering tanamanFigure 3. Correlation between plant nutrients uptake with dry weight Noviandi Ginting, Suroso Rahutomo dan Edy Sigit Sutarta agronomis tertinggi untuk semua jenis hara N, P, K, dan Mg dalam penelitian ini diperoleh pada perlakuan P1 Tabel 4. Hal ini mungkin berkaitan dengan ukuran partikel sebenarnya dari pupuk briket yang lebih halus dibanding jenis pupuk lainnya. Ukuran butiran tunggal dari pupuk yang digunakan dalam penelitian ini memang lebih besar disbanding jenis pupuk lainnya, namun pada dasarnya pupuk briket yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil pressing dari butiran-butiran halus pupuk sehingga membentuk ukuran yang lebih besar. Adanya proses pressing dari pupuk briket tersebut diduga berpengaruh dalam meningkatkan sifat slow release dari pupuk briket. Namun demikian, hasil uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara perlakuan P1, P2 dan 4. Efisiensi Serapan Hara RE, Efisiensi Fisiologis PE dan Efisiensi Agronomis AE pada masing-masing perlakuanTable 4. Nutrient uptake efficiency RE, Physiology Efficiency PE, and Agronomic Efficiency on each treatment Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa rata-rata nilai efisiensi agronomis dari yang terbesar sampai yang terkecil mengikuti pola Mg > P > N > K. Pola nilai efisiensi agronomis ini berbanding terbalik dengan pola banyaknya hara yang diaplikasikan, dimana dalam penelitian ini jumlah hara yang diaplikasikan dari yang terkecil sampai yang terbesar mengikuti pola Mg Mg > N > K. Pola ini menggambarkan bahwa dalam penelitian ini, hara P merupakan hara yang memiliki kontribusi yang paling besar terhadap peningkatan berat kering tanaman, diikuti hara Mg, N, dan K. Dengan kata lain, dibanding hara N, K, dan Mg, tanaman memberikan respon yang paling besar terbesar terhadap hara P. Hal ini mungkin disebabkan hara P merupakan hara yang menjadi faktor pembatas terbesar terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman dibanding hara lainnya. Efisiensi agronomis AE merupakan ukuran peningkatan hasil, dalam hal ini berat kering tanaman, dari setiap unit hara yang berikan lewat pupuk. Dengan kata lain, efisiensi agronomis menggambarkan respon tanaman terhadap hara yang diberikan. Niai efisiensi Gambar 3. Hubungan serapan hara tanaman dengan berat kering tanamanFigure 3. Correlation between plant nutrients uptake with dry weight Noviandi Ginting, Suroso Rahutomo dan Edy Sigit Sutarta agronomis tertinggi untuk semua jenis hara N, P, K, dan Mg dalam penelitian ini diperoleh pada perlakuan P1 Tabel 4. Hal ini mungkin berkaitan dengan ukuran partikel sebenarnya dari pupuk briket yang lebih halus dibanding jenis pupuk lainnya. Ukuran butiran tunggal dari pupuk yang digunakan dalam penelitian ini memang lebih besar disbanding jenis pupuk lainnya, namun pada dasarnya pupuk briket yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil pressing dari butiran-butiran halus pupuk sehingga membentuk ukuran yang lebih besar. Adanya proses pressing dari pupuk briket tersebut diduga berpengaruh dalam meningkatkan sifat slow release dari pupuk briket. Namun demikian, hasil uji statistik menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara perlakuan P1, P2 dan 4. Efisiensi Serapan Hara RE, Efisiensi Fisiologis PE dan Efisiensi Agronomis AE pada masing-masing perlakuanTable 4. Nutrient uptake efficiency RE, Physiology Efficiency PE, and Agronomic Efficiency on each treatment Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa rata-rata nilai efisiensi agronomis dari yang terbesar sampai yang terkecil mengikuti pola Mg > P > N > K. Pola nilai efisiensi agronomis ini berbanding terbalik dengan pola banyaknya hara yang diaplikasikan, dimana dalam penelitian ini jumlah hara yang diaplikasikan dari yang terkecil sampai yang terbesar mengikuti pola Mg 50% oleic unsaturated fatty acid and 2000 ppm of carotene content were found in the first pseudo-backcross population. Correlation analysis among fatty acids in every populations are also presented in this paper which shows slightly different relationships between hybrid and first pseudo-backcross populations. Further research is required such as tissue culture techniques and association studies to accelerate the use of E. oleifera descendant Elaeis oleifera, Elaeis guineensis, pseudo-backcross, fatty acids, Adriwan Siregar, Hernawan Yuli Rahmadi, Sri Wening, dan Edy Suprianto Abstrak Tiga ratus sembilan puluh lima contoh pohon terdiri dari populasi liar Elaeis oleifera origin Brazil dan Suriname, turunan hibridanya dengan Elaeis guineensis, dan pseudo-backcross pertama berhasil diama t i a sam lema k dan total karo t enn y a mengg u n a k a n gas chromatography dan U V spectrophotometry. Pengamatan dilakukan terhadap lebih dari 648 buah tandan dalam selang waktu 17 bulan. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa komposisi asam lemak dan total karoten pada populasi F1 dan pBC1 memiliki keragaman yang lebih luas dibanding varietas komersial di Indonesia saat ini. Populasi pseudo-backcross pertama baik dari E. oleifera origin Brazil maupun Suriname lebih berpotensi diintrogresikan ke dalam program pemuliaan saat ini dibanding populasi liar dan hibridanya disebabkan pertumbuhan batang yang sudah mewarisi sifat E. guineensis. Berhasil ditemukan pada populasi pseudo-backcross pertama, beberapa individu dengan kandungan asam lemak tak jenuh oleat dengan nilai >50% dan kandungan karoten 2000 ppm. Analisis korelasi antar-asam lemak pada setiap populasi juga dipaparkan dalam tulisan ini yang menunjukkan hubungan yang sedikit berbeda antara populasi hibrida dan pseudo-backcross pertama. Penelitian lebih lanjut seperti teknik kultur jaringan dan association studies diperlukan untuk percepatan penggunaan material turunan E. oleifera. Penulis yang tidak disertai dengan catatan kaki instansi adalah peneliti pada Pusat Penelitian Kelapa SawitHeri Adriwan Siregar *Pusat Penelitian Kelapa SawitJl. Brigjen Katamso No. 51 Medan, IndonesiaEmail heriadriwan 91Naskah masuk 29/05/2018; Naskah diterima 28/08/2018 berbau khas dari karoten dan rasanya agak langu. Penggunaan minyak inti sawit, minyak kelapa yang diolah dari santan dan lemak kakao dimaksudkan untuk menurunkan bahkan menghilangkan aroma dari MSM. Semakin tinggi jumlah dari ketiga jenis minyak tersebut menyebabkan tingkat kesukaan dari campuran semakin tinggi dikarenakan aroma dari MSM semakin rendah atau Organoleptik Campuran MSM dan Minyak Nabati Tingkat kesukaan MSM dan campurannya terhadap aroma dan rasa ditunjukkan pada Tabel 2. Nilai rerata tingkat kesukaan terhadap aroma dan rasa MSM sangat rendah sebesar 1,3-1,4 yang berarti tidak suka hingga kurang suka. Rendahnya nilai kesukaan ini disebabkan oleh MSM berwarna kemerahan dan ... B Grain yield obtained from the use of standard fertilizers C Grain yield obtained without the use of fertilizers control d. Fertilizer Efficiency Fertilizer efficiency is the result of the division between grain weight kg ha -1 in NPK-fertilized treatment minus the yield in the control treatment divided by the amount of fertilizer used kg ha -1 Tambunan et al., 2014, Ginting et al., 2018 ... Antonius KasnoKiki ZakiahI Wayan SuastikaThe quality and effective fertilizers support site-specific nutrient management of paddy fields, which can increase yields and efficiency of fertilizer. Fertilizer formulas should be based on soil nutrient status and crop requirements. This study aims to examine the reformulation of compound NPK fertilizers for lowland rice. The study was conducted in Cibungbulang, Bogor Regency from October 2020 - March 2021. The experimental design was carried out using a randomized complete block design with 10 treatments, and 3 replications. The treatments consisted of five levels of NPK 15-10-12 fertilizer doses, plus control treatment, NPK 15-15-15 and single NPK as standard, and additional treatment with the addition of straw compost. The plots were made measuring 5 m x 5 m. The results showed that statistically, the application of NPK 15-10-12 fertilizer gave the same effect on plant height, the number of tillers, weight of dry grain harvested, the weight of dry milled grain, and weight of dry straw compared to single NPK fertilizer and NPK 15-15-15. The optimum dose of NPK 15-10-12 fertilizer for lowland rice is 220 kg ha-1 combined with Urea at a dose of 225 kg ha-1. At the same dose 300 kg ha-1 the efficiency of NPK 15-10-12 fertilizer kg grain kg-1 fertilizer was higher than NPK 15-15-15 fertilizer kg grain kg-1 fertilizer. Higher efficiency is indicated by lower fertilization doses. The RAE value of NPK 15-10-12 142% was higher than that of NPK 15-15-15 at the same dose and single NPK. This research implies that the formula for compound NPK 15-10-12 fertilizer can be used as a substitute for compound NPK 15-15-15 fertilizer.... K o n s e n t r a s i h a r a d a u n menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata pada pemberian pupuk anorganik briket dibandingkan tanpa pemupukan. Penelitian Ginting et al. 2018 juga menunjukkan konsentrasi hara N, P, dan K pada pembibitan tanaman kelapa sawit dalam polibeg yang tidak berbeda nyata pada pemberian pupuk anorganik lambat tersedia berbentuk briket dibandingkan tanpa pemupukan. Hal tersebut dikarenakan pupuk anorganik lambat tersedia akan melepas hara kumulatif dalam jumlah yang lebih kecil dalam waktu yang sama dibandingkan pupuk tunggal Hanifah et al., 2019. ...Riko Cahya PutraUmi HidayatiPemupukan anorganik memegang peranan penting dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman karet pada pembibitan root trainer. Pemupukan anorganik pada pembibitan tanaman karet selain diberikan dalam bentuk cair dapat juga diberikan dalam bentuk padat seperti pupuk briket yang memiliki sifat lambat tersedia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan tanaman karet pada pembibitan root trainer terhadap pemberian pupuk anorganik briket. Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan Unit Riset Bogor-Getas, Salatiga, Jawa Tengah pada bulan April sampai September 2020. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 8 perlakuan dan 6 ulangan. Perlakuan terdiri atas 1kontrol tanpa pemupukan; 2pupuk cair 2 minggu; 3briket 5 g/tanaman; 4briket 10 g/tanaman; 5briket 5 g/tanaman + pupuk cair 2 minggu; 6briket 10 g/tanaman + pupuk cair 2 minggu; 7briket 5 g/tanaman + pupuk cair 4 minggu; 8briket 10 g/tanaman + pupuk cair 4 minggu. Pemberian pupuk anorganik briket tidak menunjukkan peningkatan pertumbuhan tinggi tanaman, diameter batang, bobot akar, bobot tanaman, dan kandungan hara daun dibandingkan tanpa pemupukan. Efektivitas agronomi relatif tertinggi ditunjukkan pada perlakuan briket 10 g/tanaman + pupuk cair 4 minggu dengan RAE 145%. Hal tersebut berarti bahwa penambahan pupuk anorganik briket 10 g/tanaman dapat mengurangi frekuensi pupuk cair dengan efektivitas agronomi relatif yang sudah lebih tinggi 45% dibandingkan pupuk cair 2 minggu. Kata kunci pupuk briket; pupuk cair; pembibitan karet; root trainer... Root morphological conditions such as thickness, length, and the number of roots affect optimal nutrient uptake Biswas et al., 2000. The better the root development, then the better the nutrient uptake that seedlings Ginting et al., 2018a. ...Siti Hanna GhaidaBasuki WasisSRI WILARSO BUDILimestone mining has the potential into environmental damage that involve modify an ecosystem. The attempt that contrived to reduce the disturbances are rehabilitation. This research was conducted to examine the growth response of Leucaena leucocephala inoculated with AMF and soil ameliorant in a limestone post-mining soil. The design used was a split-plot design in a completely randomized design with 3 factors. The first factor was AMF inoculum Daemonorops draco AMF and MycoSilvi, the second factor was organic fertilizer of compost, and the third factor was inorganic fertilizer. The variables used in this study expressed by height, diameter, biomass, root colonization, and nutrient absorption of the plant. The analysis showed that the combination of MycoSilvi and compost gave best result of height, diameter, and biomass, with significantly increased by and to control plant. It also gave best result of nutrient uptake N, P, and K, with significantly increased up to g plant-1, g plant-1, and g plant-1. In general, AMF showed a good percentage of root colonization with an average Further research is needed to determine the response to the growth of seedlings planted in the is one type of soil that has a very wide distribution in Indonesia, but the use of this soil faces many obstacles. The main problem in ultisol utilization is the low availability of phosphorus P and the low absorption efficiency. Coal fly ash CFA is a material that can overcome these problems. The objective of this study was to examine the effect of Application CFA on several soil chemical properties pH, exchangeable Al, exchangeable Ca and available P, plant growth, yield, and absorption efficiency of P fertilizer. This study used a completely randomized factorial design consisting of two factors. The first factor was CFA that consisted of three levels of treatment, namely A0 = 0 t ha-1 or without CFA, A1 = 40 t CFA ha-1, A2 = 80 t CFA ha-1. The second factor was P fertilizer that consisted of four levels of treatment, namely P0 = 0 kg ha-1, P1 = 30 kg P ha-1, P2 = 60 kg P ha-1 and P3 = 90 kg P ha-1. The results of the study showed that the application of 80 t CFA ha-1 increased the pH by reduced exchangeable Al by and increased exchangeable by Ca compared to control. The combination 80 t CFA ha-1 and 90 kg P ha-1 increased available P by compared to control. The application of 80 t CFA ha-1 resulted in the highest total plant dry weight and total P uptake. The treatment resulted in total plant dry weight of g and total P uptake of mg plant-1, increased and respectively compared to the control. The application of 90 kg P fertilizer ha-1 resulted in the highest total dry weight of maize, and total P uptake, namely g and mg plant-1, respectively, which means that the total plant dry weight increased by and the total uptake P increased compared to control. The highest seed dry weight was obtained in the combination of 80 t CFA ha-1 and 90 kg P ha-1, namely g, an increase of compared to the control. The combination of 40 t CFA ha-1 and 30 kg P ha-1 resulted in the highest absorption efficiency of P fertilizer, namely This means that in this treatment, maize can absorb of the applied P field experiment was conducted to study the effects of N fertilization on uptake, accumulation/remobilization, use efficiency and yield of sunflower grown in alluvial plains of northwestern India comprising four hybrids PSH 996, PAC 3789, PSH 569 and SH 3322 and five N levels Control, 40, 80, 100 and 120 kg N ha-1 in split-plot design with three replications. Increased N fertilizer rates significantly prompted sunflower yield only up to 100 kg N ha-1. Every additional kilogram of N taken up increased sunflower yield by 26 kg ha-1. Significant genetic variation for seed yield and NUE traits explicated PSH 569 as the efficient one at sub-optimal N application while PSH 996 outperformed others at N80, N100 and N120. Dry matter accumulation pattern revealed average harvest index of 30% with 29% of the biomass as stalk, 19% as leaf and 22% as thalamus. Temporal changes in N acquisition indicated most of the total N uptake upto 50% flowering while maximum remobilization takes place during reproductive phase. Significant correlation between N uptake and N use efficiency parameters with yield indicate the importance of N nutrition in sunflower; LAI r= N uptake r= NUpE r= NUtE r= NUE r= Variation in NUE was more closely associated with NUpE r= than NUtE r= and linearly decreased with increasing leaf greenness R2= and total leaf area R2= This work will complement other studies to establish a baseline for breeding N efficient sunflower genotypes be grown under semi-arid tropical conditions in India and similar environments. © 2016, GORGAN UNIV AGRICULTURAL SCIENCES AND NATURAL RESOURCES. All rights reserved. Terry RobertsPublic interest and awareness of the need for improving nutrient use efficiency is great, but nutrient use efficiency is easily misunderstood. Four indices of nutrient use efficiency are reviewed and an example of different applications of the terminology show that the same data set might be used to calculate a fertilizer N efficiency of 21% or 100%. Fertilizer N recovery efficiencies from researcher managed experiments for major grain crops range from 46% to 65%, compared to on-farm N recovery efficiencies of 20% to 40%. Fertilizer use efficiency can be optimized by fertilizer best management practices that apply nutrients at the right rate, time, and place. The highest nutrient use efficiency always occurs at the lower parts of the yield response curve, where fertilizer inputs are lowest, but effectiveness of fertilizers in increasing crop yields and optimizing farmer profitability should not be sacrificed for the sake of efficiency alone. There must be a balance between optimal nutrient use efficiency and optimal crop Robertson Elliot Thomas R. FoxVolatilization losses following fertilization with urea or ureaform applied at a rate of 448 kg ha-1 N were measured in a thinned 22-yr-old loblolly pine Pinus taeda L. plantation in the Virginia Piedmont. Fertilizer was applied at two different times, winter and summer, and NH3 volatilization was measured for 29 d using a static chamber method. The majority of the NH3 volatilization occurred during the first 7 to 9 d following fertilization. Larger amounts of NH3 were volatilized following fertilization with urea than with ureaform. Following application in the summer, 51% of the applied N was volatilized from urea while only 7% of the applied N was volatilized from ureaform. The amount of N volatilized following urea application in the winter was 18% compared to 11% following ureaform application. This study highlights the risks of N loss through volatilization associated with urea fertilization, especially when it is applied during the growing season. These results also indicate that slow release N fertilizers such as ureaform can decrease volatilization losses following surface application in loblolly pine forest ecosystems and may, therefore, increase N uptake by the trees. Zhenli HeAims To evaluate the effects of soil K levels deficit to excess on nutrient uptake parameters concentration, uptake, influx, transport and use efficiency ratios of macro and micro nutrients in different cacao Theobroma cacao L. genotypes. Methodology Seedlings of three cacao genotypes Amelonado, EET-400 and ICS 95 were grown for 90 days in a plant growth chamber with three levels of K 52, 156, and 469 mg K plant-1 in the growth medium. The experiment was a split plot design with genotypes as the main plots and K levels as the subplots with three replications. Nutrient uptake parameters were investigated. Results Significant P< and K effects were observed on the nutrient uptake parameters of various macro and micro nutrients in cacao. Increasing K in the soil significantly increased K P< and Zn P< concentrations and significantly P< reduced the P, Ca, Mg, and Mn concentrations in cacao plants. Overall uptake of P, Ca, Mg, Fe, and Mn decreased and uptake of N, K, Cu and Zn increased with increasing soil K levels. Increasing the K levels of the soil significantly at P< and P< increased the efficiency ratio ER for P, Ca, Mg, Mn and N respectively in cacao. Increasing K levels of the soil significantly P< and decreased ER for K and Zn respectively in cacao. For all of the soil K levels, Amelonado genotype was most efficient in utilization of absorbed Fe, Mn and Zn, whereas ICS 95 genotype was most efficient in utilization of absorbed N, P, Ca, Mg, B, and Cu. Conclusion At varying soil K levels, cacao genotypes used in this study showed significant differences in macro and micro nutrient uptake, nutrient influx and transport and nutrient use efficiency. Soil K levels have significant effects on nutrient uptake parameters of L. Zerpa Thomas R. FoxAmmonia volatilization losses from surface applied urea could reduce the N-use efficiency in loblolly pine Pinus taeda L. plantations. Three field studies were conducted to assess the effectiveness of two urea formulations coated-urea fertilizer CUF and the urease inhibitor N-n-butyl thiophosphoric triamide-treated urea NBPT at reducing ammonia NH3 losses in loblolly pine plantations under different forest floor moisture dry vs. wet, substrate forest floor vs. mineral soil, and site/soil type conditions Piedmont vs. Coastal Plain. An additional laboratory study under controlled environmental conditions helped validate the results from the field. Ammonia volatilization losses were influenced more by the initial forest floor moisture than by the fertilizer formulations and were 43% lower when the fertilizer treatments were applied directly on the forest floor than on the exposed mineral soil. The average NH3 losses, expressed as a percentage of applied N, in the Piedmont ranged from 1 to 9%, and from 7 to 16%, 7 and 30 d aft er fertilization, respectively. At Day 7, both CUF and NBPT reduced NH3 losses, as compared with untreated urea, by 39 and 80%, respectively. In the Coastal Plain, NH3 losses ranged from 7 to 17%, 7 d aft er fertilization. Both CUF and NBPT reduced NH3 losses, as compared with untreated urea, by 35 and 25%, respectively. This difference in treatment ranking between sites suggests a fertilizer by site/soil type interaction which the laboratory study confirmed. These results highlight the importance of knowing the environmental and site conditions before fertilization and can help decide where and when these formulations might be used more enhance the effectiveness of fertilizers, a novel double-coated slow-release fertilizer was developed using ethyl cellulose EC as inner coating and starch-based superabsorbent polymer starch-SAP as outer coating. For starch-SAPs synthesized by a twin-roll mixer using starches from three botanical origins, a reduced grid size and an increased fractal gel size on nano-scale increased stretch of 3D network contributed to increasing the water absorbing capacity with a reduced absorbing rate and thus improving the slow-release property of fertilizer. The fertilizer particles coated with starch-SAP displayed well slow-release behaviors. In soil, compared to urea particles without and with EC coating, the particles further coated with starch-SAP showed reduced nitrogen release rate, and in particular, those with potato starch-SAP coating exhibited a steady release behavior for a period longer than 96 h. Therefore, this work has demonstrated the potential of this new slow-release fertilizer system for improving the effectiveness of fertilizers. Wesley JarrellR. B. BeverlyThis chapter discusses the dilution effect in plant nutrition studies. “Environmental conditions” include changes in the soil environment because of the addition of inorganic and organic materials, and water to soil, as well as temperature and light, the application of living organisms such as rhizobia and mycorrhizal fungi, and the inclusion of toxic materials such as heavy metals. A summary is presented of the physical, chemical, and biological reasons that accounts for the observed changes in the rate of nutrient uptake, and the rate of dry matter accumulation as functions of time. The chapter proposes that data on total uptake and total dry matter yield be considered wherever possible, and that consideration of these factors be coupled with consideration of concentrations. In instances where total nutrient uptake is difficult to calculate, it is suggested that this be estimated by the product of concentration and yield. The effect of a chemical or environmental treatment on the concentration of a nutrient in the plant will be considered in two categories—noninteractive and interactive. Of these two, the interactive effects have been most carefully studied in soil-plant nutrition use of urea and urea-based fertilizers has increased considerably over the past 15 years. They currently account for approximately 51% of the world's agricultural nitrogen consumption. However, about 20–70% of the applied urea fertilizer is lost to the environment, causing serious pollution and increasing costs. These losses come from leaching, decomposition, and ammonium volatilization in the soil during handling and storage. Controlled release by coating can be used to increase urea fertilizer efficiency. We studied the use of gypsum, sulfur, and ground magnesium lime as cost-effective coating materials. All these coating materials contain nutrients required by plants. The effects of the coating composition and proportion of sealant on the rate of urea release and the crushing strength of the coated urea were investigated. We found that coated urea with the same proportion of gypsum–ground magnesium lime GML exhibited low urea release and high crushing strength. The performance was enhanced when using polyols as a sealant on the surface of the coated urea. A surface morphology analysis indicated a uniform and smooth surface on the coated film. The efficiency of the coated urea improved by when using gypsum–GML 11 ratio containing fertilizer CRF use is a best management practice that may reduce nitrogen N loss to the environment. Several factors affect CRF nutrient release; therefore, including CRF in a fertilization program may have challenges. Thus, the study objective was to evaluate the effects ofCRFN rate, source, release duration, and placement on seepage-irrigated marketable tomato Solanum lycopersicum L. yield, leaf tissue N LTN concentration, post-season soil N content, and postharvest fruit firmness and color. There were two soluble fertilizer SF controls [University of Florida/Institute of Food and Agriculture Sciences UF/IFAS 224 kghaL1 and grower standard 280 kghaL1] and six and seven CRF treatments alone or in combination with SF in Fall 2011 and 2012, respectively. Cumulative rainfall totaled and cm during the 2011 and 2012 seasons with average air temperatures of and 8C, respectively. Soil temperatures ranged from to 8C in 2011 and to 8C in 2012 with a strong correlation r = to air temperature. Controlled-release urea resulted in to plant mortality in 2011 and reduced yields in 2012 compared with CRF N– phosphorus–potassium NPK at a similar N rate. LTN concentrations were above or within the sufficiency range for all treatments. In 2011, using CRF-urea at 190 kghaL1 N produced similar marketable tomato yield in all fruit categories except season total large tomatoes, which produced significantly fewer marketable tomatoes with MghaL1 compared with UF/IFAS and grower standard with and MghaL1, respectively. In 2012, CRF-NPK 168 kghaL1 N significantly reduced first and second harvest combined large and season total large and total marketable yields compared with the UF/ IFAS rate and grower standard treatments. Marketable yield was not significantly affected by CRF urea or NPK release duration, but CRF-NPK 180-day release duration significantly increased residual soil N in 2012 compared with CRF-NPK 120-day release with and kghaL1 N, respectively. Rototilling CRF-urea into the bed, which was only evaluated in 2011, significantly increased total season yields compared with CRFurea broadcast in row before bedding BIR with and MghaL1, respectively. There were no significant yield differences when 50% or 75% of the total N was CRF placed in the hybrid fertilizer system, which is a system with CRF placed BIR with the remaining N as SF-N banded on the bed shoulders. No significant differences among treatments were found for total residual soil N in 2011; however, higher soil N remained in CRF NPK and urea treatments compared with SF treatments in 2012, except for Treatment 9. No significant differences were found among treatments for fruit firmness or color in 2011 or 2012. CRF-NPK at 190 to 224 kghaL1 N with a 120-day release may be recommended as a result of similar or greater first harvest and total season marketable yields compared with IFAS-recommended rates and low residual soil N. Further research must be conducted to explore CRF placement and percentage urea composition, although use of the hybrid system or rototilling may be recommended.
cara menghitung dosis pupuk kelapa sawit